Kebolehan Menghadap Kiblat Saat Berak

Kebolehan Menghadap Kiblat Saat Berak
Oleh : Al-Ustadz H. Miftahul Chair, S.Hi. MA
Genre : Fikih Islami 
Tulisan ini lahir dari pertanyaan netizen tentang hal ini dan arahan dalam mendirikan bangunan untuk WC karena ada kekhawatiran yang tidak disertai ilmu. Di sini saya mencoba mengupasnya secara luas.

Sebelum Kiblat umat Islam ke Ka'bah. Rasulullah Saw buang hajat menghadap ke kiblat yakni baitul Maqdis,

 عَنْ وَاسِعِ بْنِ حَبَّانَ قَالَ كُنْتُ أُصَلِّي فِي الْمَسْجِدِ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ مُسْنِدٌ ظَهْرَهُ إِلَى الْقِبْلَةِ فَلَمَّا قَضَيْتُ صَلَاتِي انْصَرَفْتُ إِلَيْهِ مِنْ شِقِّي فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ يَقُولُ نَاسٌ إِذَا قَعَدْتَ لِلْحَاجَةِ تَكُونُ لَكَ فَلَا تَقْعُدْ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ وَلَا بَيْتِ الْمَقْدِسِ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ وَلَقَدْ رَقِيتُ عَلَى ظَهْرِ بَيْتٍ فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَاعِدًا عَلَى لَبِنَتَيْنِ مُسْتَقْبِلًا بَيْتَ الْمَقْدِسِ لِحَاجَتِهِ

Maknanya : "Dari Wasi' bin Habban, dia berkata, "Saya pernah shalat di masjid, sedangkan Abdullah bin Umar menyandarkan tubuhnya ke arah kiblat. Ketika selesai shalat, aku mendekatinya dan berada di sisinya lalu Abdullah berkata, "Orang-orang mengatakan, 'Apabila kamu duduk untuk buang hajat, maka janganlah kamu duduk menghadap kiblat atau baitul Maqdis.'" Abdullah berkata, "Saya pernah naik ke atas rumah lalu saya melihat Rasulullah SAW duduk di atas dua batu bata menghadap Baitul Maqdis untuk buang hajat." (HR. Muslim No. 390)

Jadi intinya, kita diperbolehkan menghadap kiblat atau membelakanginya karena Rasulullah Sw telah mencontohkan. Memang pada dasarnya terjadi perbedaan di kalangan ulama tentang haram atau tidaknya menghadap atau membelakangi kiblat waktu buang hajat. Imam An-Nawawi dalam kitabnya Shahih Muslim Bi Syarhin Nawawi bab al-istithabah jilid 3, hal. 153 menjelaskan ikhtilaf para ulama dalam masalah ini,

فَقَدِ اخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِيهِ عَلَى مَذَاهِبَ أَحَدُهَا مَذْهَبُ مَالِكٍ وَالشَّافِعِيِّ رَحِمَهُمَا اللَّهُ تَعَالَى أَنَّهُ يَحْرُمُ اسْتِقْبَالُ الْقِبْلَةِ فِي الصَّحْرَاءِ بِالْبَوْلِ وَالْغَائِطِ وَلَا يَحْرُمُ ذَلِكَ فِي الْبُنْيَانِ وَهَذَا مَرْوِيٌّ عَنِ الْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عنهما والشعبى واسحق بْنِ رَاهَوَيْهِ وَأَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ فِي إِحْدَى الروايتين رحمهم الله والمذهب الثانى أنه لايجوز ذَلِكَ لَا فِي الْبُنْيَانِ وَلَا فِي الصَّحْرَاءِ وَهُوَ قَوْلُ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ الصَّحَابِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَمُجَاهِدٍ وَإِبْرَاهِيمَ النَّخَعِيِّ وَسُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ وَأَبِي ثَوْرٍ وَأَحْمَدَ فِي رِوَايَةٍ وَالْمَذْهَبُ الثَّالِثُ جَوَازُ ذَلِكَ فِي الْبُنْيَانِ وَالصَّحْرَاءِ جَمِيعًا وَهُوَ مَذْهَبُ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ وَرَبِيعَةَ شَيْخِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَدَاوُدَ الظَّاهِرِيِّ وَالْمَذْهَبُ الرَّابِعُ لَا يَجُوزُ الِاسْتِقْبَالُ لَا فِي الصَّحْرَاءِ وَلَا فِي الْبُنْيَانِ وَيَجُوزُ الِاسْتِدْبَارُ فِيهِمَا وَهِيَ إِحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ وَأَحْمَدَ رَحِمَهُمَا اللَّهُ تَعَالَى وَاحْتَجَّ الْمَانِعُونَ مُطْلَقًا بِالْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ الْوَارِدَةِ فِي النَّهْيِ مُطْلَقًا كَحَدِيثِ سَلْمَانَ الْمَذْكُورِ وَحَدِيثِ أَبِي أَيُّوبَ وَأَبِي هُرَيْرَةَ وَغَيْرِهِمَا قَالُوا وَلِأَنَّهُ إِنَّمَا مُنِعَ لِحُرْمَةِ الْقِبْلَةِ وَهَذَا الْمَعْنَى مَوْجُودٌ فِي الْبُنْيَانِ وَالصَّحْرَاءِ وَلِأَنَّهُ لَوْ كَانَ الْحَائِلُ كَافِيًا لَجَازَ فِي الصَّحْرَاءِ لِأَنَّ بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْكَعْبَةِ جِبَالًا وَأَوْدِيَةً وَغَيْرَ ذَلِكَ مِنْ أَنْوَاعِ الحائل واحتج من أباح مطلقا بحديث بن عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا الْمَذْكُورِ فِي الْكِتَابِ أَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُسْتَقْبِلًا بَيْتَ الْمَقْدِسِ مُسْتَدْبَرَ الْقِبْلَةِ وَبِحَدِيثِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَلَغَهُ أَنَّ أُنَاسًا يَكْرَهُونَ اسْتِقْبَالَ الْقِبْلَةِ بِفُرُوجِهِمْ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَلَغَهُ أَنَّ أُنَاسًا يَكْرَهُونَ اسْتِقْبَالَ الْقِبْلَةِ بِفُرُوجِهِمْ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوَ قَدْ فَعَلُوهَا حَوِّلُوا بِمَقْعَدِي أَيْ إِلَى الْقِبْلَةِ رَوَاهُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ فِي مُسْنَدِهِ وبن مَاجَهْ وَإِسْنَادُهُ حَسَنٌ وَاحْتَجَّ مَنْ أَبَاحَ الِاسْتِدْبَارَ دُونَ الِاسْتِقْبَالِ بِحَدِيثِ سَلْمَانَ وَاحْتَجَّ مَنْ حَرَّمَ الِاسْتِقْبَالَ وَالِاسْتِدْبَارَ فِي الصَّحْرَاءِ وَأَبَاحَهُمَا فِي الْبُنْيَانِ بحديث بن عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا الْمَذْكُورِ فِي الْكِتَابِ وبحديث عائشة

Perhatikan penjelasan Imam An-Nawawi di atas, ada beberapa point di sana :

1. Mazhab Maliki dan Mazhab Syafi'i dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad mengharamkan buang hajat menghadap kiblat kalau di padang pasir tapi kalau di dalam bangunan boleh.

2. Abu Ayyub Al-Anshari, IBrahim An-Nakh'i, Abu Tsaur mengahramkan mutlak baik di padang pasir maupun di bangunan.

3. Urwah bin Zubeir dan Imam Daud Adzh-Dzhahiri membolehkan buang hajat menghadap kiblat baik di padang pasir atau pun di dalam bangunan.

4. Dalam satu riwayat, Imam Hanafi mengharamkan mutlak buang hajat baik di padang pasir (tempat terbuka) atau di bangunan namun kalau membelakanginya boleh.

Yang saya lebih setuju adalah menggabungkan pendapat mazhab Syafi'i dan mazhab Dzahiri di atas. Artinya menghadap kiblat atau membelakanginya dibolehkan jika di dalam bangunan dan tidak di areal yang terbuka. Namun dalam kondisi-kondisi tertentu kita bisa menggunakan mazhab Dzahiri, terkadang di hutan atau di lapangan kita tidak tahu arah kiblat, atau sudah tahu arah kiblat tersebut tapi karena ada halangan maka di ruang terbuka pun tidak ada masalah dan bukan berarti kita merendahkan ka'bah. Karena persoalan larangan menghadap kiblat, karena hati umat waktu itu belum kuat untuk memindahkan perasaannya terhadap ka'bah sehingga perasannya menyatu seolah-olah buang hajat menghadap ka'bah adalah menghinakan ka'bah padahal tidak itu maksudnya. Sama seperti menghadap matahari supaya tidak termasuk menyembah matahari padahal sejatinya tidaklah orang Islam buang hajat menghadap matahari jadi menyembah matahari. Tapi kalau dia sengaja memaksudkan itu maka rusaklah akidahnya.

Dari dua hadits yang seolah-olah bertentangan, di mana Nabi melarang menghadap kiblat dan membelakanginya ketika buang hajat merupakan upaya preventif Rasulullah Saw untuk menghilangkan was-was umat, namun di hadits yang lain beliau merasa umat sudah mantap dan mengerti bahwa menghadap kiblat dan membelakanginya dibolehkan dengan tidak ada maksud-maksud atau hal-hal yang memberi kesan pemerendahan status ka'bah.

Ustadz Mendunia : Al-Ustadz H. Miftahul Chair, S.Hi. MA.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hadits Palsu (2) Wanita Di Neraka Selama 70000 Tahun Gara-Gara 1 helai Rambutnya Terlihat Lelaki Yang Bukan Mahramnya

Nabi Adam Menggunakan Bahasa Suryani Tidak Bahasa Arab (Bahasa Pertama Di Dunia)

Sunnah Zikir Tahlil Sambil Menggeleng-Gelengkan Kepala