Indahnya Syariat Menyikapi Adat

Indahnya Syariat Menyikapi Adat
Penulis : Ustadz Miftah Cool 


Allah Swt berfirman :

وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَٰذَا حَلَالٌ وَهَٰذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ.

"Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung." (An-Nahl-116).

Demikian santunnya bahasa Alquran di atas untuk tidak langsung-langsung saja mengejudge itu haram, ini bid'ah, itu musyrik dll berupa amalan atau kebiasaan masyarakat yang berlaku sehingga mengacaukan tatanan kehidupan keberagamaan. Hukum Islam itu tidak kaku dan kejam, maka seorang hamba Allah dituntut secara proporsional dan profesional untuk menyikapi ini dengan bijak dan mengambil arahan-arahan yang konsolidatif berlandaskan Alquran dan Sunnah. Kedua dalil di atas merupakan sumber informasi yang Maha penting dalam menetapkan hukum yang ada dalam masyarakat. Walaupun tidak dijumpai dalil-dalil secara khusus namun dalil tersebut dapat diamalkan secara umum. Seirama dengan sabda dari Nabi Muhammad Saw :

ما رأى المسلمون حسنا فهو عند الله حسن و ما رآه المسلمون سيئا فهو عند الله سيء.

"Sesuatu yang dilihat mengandung kebaikan bagi orang-orang Islam maka maka di sisi Allah itu juga baik. Dan sesuatu yang dipandang oleh orang-orang Islam itu mengandung keburukan maka di sisi Allah Swt itu juga hal yang buruk." (Hadits Shahih riwayat Ahmad No. 3600).

Para ulama kita sudah mengantisipasi ini dalam kaedah-kaedah ushul yang menentramkan jiwa. Seperti yang diungkapkan oleh Imam Taqiyuddin Abul Hasan 'Ali bin 'Abdul Kafi bin Tamam bin Hamid bin Yahya As-Subki (Wafat 785 Hijriah) dalam kitabnya Al-Ibhaj fi Syarh Al-Minhaj Jilid 2 hal. 169,

إعمال الدليلين أولى من إبطال أحدهما بالكلية 

"Secara universal, mengamalkan 2 dalil itu lebih utama daripada pada membatalkan salah satu dalil yang ada."

Konsepsi kaedah di atas menghendaki setiap insan untuk mencari dalil-dalil yang ada, fleksibilitas dalil dan keelastisasannya yang membuat seseorang menahan diri untuk menyandarkan hukum dengan pikiran dan perasaannya atau juga terjebak dalam satu dalil saja padahal ada dalil-dalil yang mendukung. 

Jika ditemukan ada praktek di dalam masyarakat yang sudah dicarikan dalilnya tapi belum juga ditemukan maka solusi yang paling tepat adalah mengambil muatan hukum secara umum dari dalil-dalil yang khusus tersebut yang mengena dengan objek pengamalan itu.
Imam Abu Sa'id Abul Khair Al-Baidhawi Asy-Syafi’i dalam kitabnya Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta'wil menegaskan Jilid 3 hal. 315:

عطف الكل على البعض والعام على الخاص

"Menghubungkan dalil yang bersifat keseluruhan atas (kull) pada sebahagiannya (ba'dh) dan menghubungkan dalil yang bersifat umum kepada dalil yang bersifat khusus."

Dari kaedah-kaedah yang ada di atas, jika kita melihat kedalam cermin hati yang bersih, maka kita akan berada dalam satu titik penilaian bahwa Islam adalah agama yang tidak ribet, tidak kejam, tidak memaksa akan tetapi Islam adalah agama kasih sayang dari Allah Swt yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. 

Adat, budaya, trend, style, gaya, tradisi dan kebiasaan diistilahkan dalam fiqh secara sinergis adalah "urf". 'Urf dapat menjadi sebuah ketentuan hukum namun tidak mengikat selayaknya seperti Nash. Dalam kitabnya Al-Asybah wan Nadzha'ir Imam Jalaluddin 'Abdurrahman As-Suyuthi Rahimahullah menyebutkan sebuah kaidah fiqh Jilid 1 hal. 7:

العادة محكمة

"Adat (budaya, tradisi lokal maupun interlokal, trend atau style) dapat ditetapkan menjadi sebuah ketentuan hukum."

Secara luas dalam pemaknaan 'urf ini dijelaskan oleh Imam Al-Haramain dalam kitabnya Al-Burhan fi 'Ilmil Ushul J. 1 hal. 446,

فالذي رآه الشافعي إن عرف المخاطبين لا يوجب تخصيص لفظ الشارع

"Menurut Imam As-Syafi'i jika dalam sebuah nash telah ditemukan ungkapan penggunaannya yang telah dibatasi 'urf maka lazimnya tidaklah menjadi kewajiban membatasi atau mengkhususkan ungkapan-ungkapan syara' tersebut."

Dengan kata lain, semua dalil yang ada sering sekali menjadi dalil yang bersifat umum (umum) dibandingkan dalil yang khusus (khas).

Perlu diperhatikan, Prof. DR. H. Lahmuddin. Nst. MA dalam bukunya pembaruan dalam mazhab Syafi'iyyah hal. 150-151 menyatakan bahwa setiap budaya yang berlaku dapat mempengaruhi pertimbangan dalam penetapan hukum namun bukan merupakan dalil hukum dalam arti yang sesungguhnya. 

Setiap budaya yang tidak bertentangan dengan ruh Alquran dan Hadits Nabi secara substansial dapat diamalkan dan beroleh pahala jika diniatkan karena Allah Swt. Islam menyebar ke seluruh dunia sebenarnya karena amaliah yang dilakukan oleh umat Islam itu sendiri berdasarkan elaborasi terhadap budaya lokal setempat. Hukum Islam bersifat dinamis, fleksibilitas dan elastis tidak terkesan kaku dan angker. Penerapan kandungan hukum berdasarkan Alquran dan hadits-hadits merupakan hal yang diminta dalam pengamalan hukum Islam itu sendiri. 

Seperti budaya2 pernikahan sesuai adat, tepung tawar, barzanzi, azan dikuburan atau azan melepas jemaah haji, kenduri arwah, peringatan 1 tahun kematian, tradisi yasinan maulid Nabi, Isra' Mi'raj, spiritualitas budaya seperti larung laut (sesajen), merawat benda-benda kuno atau bersejarah dll, semua dapat diamalkan sesuai kaidah umum dari dalil-dalil yang mengarah ke maksud tadi.

Menyikapi adat di dalam kehidupan manusia, Prof. DR Wahbah Az-Zuhaili menyatakan dalam kitabnya Tafsir Al-Quranil Karim :

1. Jika budaya itu bertentangan dengan Alquran dan Hadits maka budaya tersebut ditolak. 
2. Jika sesuai dengan semangat Alquran dan Hadits maka budaya tersebut diterima. 
3. Jika ada keburukan pada budaya tersebut maka budaya tersebut dimodifikasi menjadi budaya yang Islami.

Allah Swt berfirman :

"Tunjukilah kami ke jalan yang lurus." (Al-Fatihah : 6).

Jalan yang lurus adalah mengambil hukum Islam dengan metodologi yang digunakan para ulama dan mengamalkan pola-pola ijtihadi yang berdasarkan qurani. 

Mengamalkan di dalam diri dengan merujuk Alquran dan Hadits Nabi untuk mengislamisasikan sebuah adat ataupun tradisi maka itulah cerminan dari pribadi-pribadi ilahi.

Adha-Dha'if Ilallahil Mughni 
(Al-Ustadz H. Miftahul Chair, S.Hi. MA).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hadits Palsu (2) Wanita Di Neraka Selama 70000 Tahun Gara-Gara 1 helai Rambutnya Terlihat Lelaki Yang Bukan Mahramnya

Nabi Adam Menggunakan Bahasa Suryani Tidak Bahasa Arab (Bahasa Pertama Di Dunia)

Sunnah Zikir Tahlil Sambil Menggeleng-Gelengkan Kepala