Khilafah Expired (Say No To Khilafah)

NKRI Harga Mati Simbol Demokrasi
(Tidak Perlu Adanya Khilafah)

Oleh : Al-Ustadz H. Miftahul Chair, S.Hi. MA
Alumni Hukum Islam Pasca Sarjana UIN Sumatera Utara

Saya tampilkan tulisan saya kembali yang dimuat di Harian waspada Jumat lalu 22 Mei 2015 tentang, bacalah dan renungkan, semoga mendapat ilmu yang berkah dari artikel yang berguna ini. Selamat membaca.

Allah Swt berfirman : “Katakanlah Wahai Tuhan Yang Memiliki Kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada orang yang Engkau Kehendaki dan Engkau cabut kekuasaan dari orang yang Engkau kehendaki.” (QS. Ali ‘Imran : 26). 

Di dalam ayat ini secara gamblang dijelaskan bahwa Allah Swt yang menguasai mutlak segala pangkat atau jabatan yang ada di dunia ini. Allah Swt tidak memberikan sistem khusus ketika seorang hamba menjalankan roda kekuasaan, karena secara prinsipil tugas mulia berupa pemerintahan atau kekuasaan politik itu kondisional, yang ditekankan adalah membangun karakter sehingga manusia tidak hanya menjadi sarjana perguruan tinggi tapi juga sarjana etika. Jika manusia itu baik, maka sistem apapun yang dijalankan pastilah baik namun sebagus apapun sebuah sistem dalam pemerintahan jika dipenuhi dengan orang-orang yang tidak baik maka keadaan pun berubah menjadi buruk. Dengan kata lain, sistem pemerintahan terutama demokrasi dalam pembicaraan ini biasanya baik tergantung manusianya.

Dalam menetapkan sebuah pemerintahan atau khilafah, Allah Swt dan Rasul-Nya tidak memberikan sistem yang final dan permanen, semuanya diserahkan oleh masing-masing individu masyarakat yang berwenang, dengan kata lain tidak mesti umat islam dipimpin oleh satu orang Khalifah saja dan itu bukanlah sebuah kewajiban. Masing-masing wilayah atau negara berhak menentukan siapa pemimpin atau khalifahnya. Sebagaimana dalam sebuah hadits shahih, Rasulullah Saw bersabda : 

عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُمْهَانَ قَالَ حَدَّثَنِي سَفِينَةُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْخِلَافَةُ فِي أُمَّتِي ثَلَاثُونَ سَنَةً ثُمَّ مُلْكٌ بَعْدَ ذَلِكَ ثُمَّ قَالَ لِي سَفِينَةُ أَمْسِكْ خِلَافَةَ أَبِي بَكْرٍ ثُمَّ قَالَ وَخِلَافَةَ عُمَرَ وَخِلَافَةَ عُثْمَانَ ثُمَّ قَالَ لِي أَمْسِكْ خِلَافَةَ عَلِيٍّ قَالَ فَوَجَدْنَاهَا ثَلَاثِينَ سَنَةً قَالَ سَعِيدٌ فَقُلْتُ لَهُ إِنَّ بَنِي أُمَيَّةَ يَزْعُمُونَ أَنَّ الْخِلَافَةَ فِيهِمْ قَالَ كَذَبُوا بَنُو الزَّرْقَاءِ بَلْ هُمْ مُلُوكٌ مِنْ شَرِّ الْمُلُوكِ قَالَ أَبُو عِيسَى وَفِي الْبَاب عَنْ عُمَرَ وَعَلِيٍّ قَالَا لَمْ يَعْهَدْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْخِلَافَةِ شَيْئًا وَهَذَا حَدِيثٌ حَسَن

Artinya : "Khilafah/Pemerintahan di masa umatku itu berjalan 30 Tahun saja, setelah itu berganti dengan sistem monarki absolut atau kerajaan. Rasulullah Saw berkata kepada sahabatnya safinah, hitunglah khilafah (kepemimipinan) Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Maka kami jumlahkan masa kekhalifahan mereka adalah 30 tahun. Sa'id berkata: Aku berkata kepadanya: Tapi bani umayyah mengklaim bahwa khilafah ada pada mereka. Safinah berkata itu adalah bualan dari mereka banu zarqa (sebutan bani umayyah) saja. Mereka adalah raja-raja yang jahat. Abu Isa berkata yang ia dengar dari 'Ali dan Umar bahwa Rasulullah Saw sendiri tidak menetapkan sistem apapun di dalam pemerintahan.” (HR. Turmudzi No. 2152 dari Sa’id bin Jumhan, An-Nasa’i No. 8155, Daud Thayalisi No. 1107, 1203, Ahmad No. 20918). 

Muhammad Syamsul Haqqil ‘Adzim Abadi Abu Thayyib dalam kitabnya ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud jilid 12, hal. 260 menjelaskan hadits di atas : 

خلافة أبي بكر رضي الله عنه سنتين وخلافة عمر رضي الله عنه عشر سنين وخلافة عثمان رضي الله عنه اثني عشر سنة وخلافة علي رضي الله عنه ست سنين
“Khilafah Abi Bakr sanatain wa khilafah ‘Umar ‘Asru Sinin wa khilafah utsman isna ‘asyar sanah wa khilafah ‘Ali sittu sinin. Artinya : “Masa kekhalifahan Abu Bakar adalah 2 tahun, Umar 10 tahun, utsman 12 tahun dan Ali 6 tahun.” Dari penjelasan ini mengindikasikan kekhalifahan yang murni dari khulafa’ur rasyidin itu berjalan hanya 30 tahun. Setelahnya khilafah berganti menjadi khilafah kerajaan yang diprakarsai oleh Mu’awiyah. Sebagaimana diterangkan oleh Imam Abu Dawud Thayalisi dalam Musnadnya jilid 2 hal 430,

سَعِيدُ بْنُ جُمْهَانَ ، قَالَ : حَدَّثَنِي سَفِينَةُ ، قَالَ خَطَبَنَا رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ : الْخِلاَفَةُ فِي أُمَّتِي ثَلاَثُونَ سَنَةً ثُمَّ يَكُونُ مُلْكٌ قُلْتُ : فَمُعَاوِيَةُ ؟ قَالَ : كَانَ أَوَّلَ الْمُلُوكِ..

Artinya : “Sa’id bin Jamhan berkata : Safinah Sahabat Rasulullah Saw bercerita kepada saya. Ia mengatakan bahwa Rasulullah Saw pernah berkhutbah dan bersabda : “Khilafah pada umatku itu hanya berlangsung 30 tahun saja. Kemudian berganti menjadi sistem kerajaan. Aku (Sa’id bin Jumhan bertanya kepada Safinah : “Jadi Mu’awiyah? Safinah menjawab : “Dialah raja yang pertama itu (Menggantikan sistem khilafah menjadi monarki atau sistem kerajaan).” (HR. Abu Dawud Tayalisi No. 1203).
 
Corak kekhalifahan dan modelnya tidak ditetapkan secara sistemik di dalam Islam, hanya saja sistem tersebut haruslah selaras dengan Alquran dan Sunnah dengan melihat konteks kekinian, yang perlu digarisbawahi, masa khalifah yang empat ini adalah masa lahirnya praktek demokrasi yang luhur. Abu Bakar, Umar, Utsman dan ‘Ali Radhiyallahu ‘Anhum kesemua khalifah ini bukanlah sebagai saudara kandung, tidak ada pertalian darah di antara mereka. Mereka dipilih secara aklamasi melalui permusyawarahan rakyat atau umat pada masanya. Dari mereka inilah sistem demokrasi islami muncul yang membawa Indonesia menuju demokrasi ilahi (berketuhanan) yang berdaulat. Hal ini senada sebagaimana di dalam hadits yang dikemukakan ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu dalam kitab Dala’ilun Nubuwwah karya Imam Al-Baihaqi jilid 8, hal. 332,

عن عمرو بن سفيان قال : لما ظهر علي رضي الله عنه على الناس يوم الجمل قال : أيها الناس ، إن رسول الله صلى الله عليه وسلم لم يعهد إلينا في هذه الإمارة شيئا ، حتى رأينا من الرأي أن نستخلف أبا بكر ، فأقام واستقام حتى مضى لسبيله ، ثم إن أبا بكر رأى من الرأي أن يستخلف عمر ، فأقام واستقام ، حتى ضرب الدين بجرانه ، ثم إن أقواما طلبوا هذه الدنيا ، فكانت أمور يقضي الله فيها
 
Artinya : “Dari Amar bin Sufyan ia berkata : Ketika ‘Ali berhadapan dengan manusia pada saat meletusnya perang Jamal, ia pun berkata : “Wahai manusia sesungguhnya Rasulullah Saw tidak menetapkan atau mewariskan sistem  khilafah (pemerintahan) sedikit pun. Kita melayangkan pendapat bahwa yang berhak menggantikan Rasulullah Saw adalah Abu Bakar yang istiqomah menjalankan kepemimpinannya sampai ia meninggal dunia. Kemudian Abu Bakar melakukan penunjukan langsung untuk menggantikannya adalah Umar yang juga domninan berlaku istiqomah dan bijaksana. Pada tahapan selanjutnya manusia pun mengejar kekuasaan itu untuk tujuan dunia padahal Allah Swt yang memberi keputusan terhadap segala urusan.” (HR. Baihaqi No. 3164, Hakim. 4558, Ahmad. 877).

Mengangkat pemimpin di dalam Islam merupakan kewajiban (fardhu kifayah) dari setiap kalangan masyarakat. Saya melihat di dalam Islam, ada dua jenis khalifah yang mewarnai kehidupan ini, Al-Khalifatul Kubro (Khilafatun Nubuwwah), Al-Imamah (Al-Khilafatul Wushtha),

a. Al-Khalifatul Kubro : Kepemimpinan yang tunggal, dimana umat Islam dipimpin oleh satu orang khalifah saja. Kepemimpinan seperti ini sangat sulit atau bahkan tidak ada lagi dikarenakan syarat ketat harusnya seorang suku quraisy yang muslim, mujtahid, seorang ilmuwan yang sehat secara fisik maupun psikis dan ini merupakan mayoritas jumhur ulama mazhab Maliki, Syafi’i, Hanbali dll. Rasululah Saw bersabda :

الأئمة من قريش ، قدموا قريشا ولا تقدموها ، وتعلموا من قريش ولا تعلموها

Artinya : “Para khalifah atau Imam itu mesti dari suku Arab Quraisy. Dahulukanlah orang Quraisy, jangan mendahului mereka dan belajarlah dari orang Quraisy, janganlah mengajari mereka.” (HR. Imam Asy-Syafi’i dalam Musnadnya No. 1330, Baihaqi dalam Ma’rifatus Sunan wa ‘Atsar No. 97, An-Nasa’i. 5492, Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Awsath No. 3521, Abu Ya’laa No. 3644, Ahmad. 11859, Bazzar. 6180, Abu Dawud Thayalisi. 2247, Abi Syaibah. 33055).

Untuk mencari kekhilafahan seperti ini sangat menyulitkan dan terbilang langka karena terputusnya keutamaan setelah berakhirnya khilafah ‘Ali bin Abi Thalib. Karena kata khalifah diidentikkan dengan mereka Khulafa’ur Rasyidin maka proses tersebut bergulir dan berubah menjadi sebutan Imam. Sehubungan dengan hal ini, Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani Asy-Syafi’i dalam kitabnya Fathul Bari jilid 12, hal. 392 menyatakan,

المراد به خلافة النبوة واما معاوية ومن بعده فكان أكثرهم على طريقة الملوك ولو سموا خلفاء والله أعلم

Artinya : “Maksud dari hadits tentang khilafah itu berlangsung 30 tahun saja adalah khilafah kenabian (sejak Rasulullah Saw, Abu Bakar, Umar, Utsman hingga ‘Ali). Adapun Mu’awiyah dan pemimpin setelahnya menjalankan roda pemerintahan berdasarkan monarki (kerajaan) walaupun mereka menisbahkan diri sebagai khulafa’ (para khalifah).” Wallahu a’lam.

Pernyataan Ibnu Hajar di atas diperkuat oleh pernyata Imam Abul ‘Ula dalam kitabnya Tuhfatul Ahwadzi bi Syarh Jami’ At-Tirmidzi jilid 6, hal 396 menjelaskan,

بعد انقضاء زمان خلافة النبوة يكون ملكا لأن اسم الخلافة إنما هو لمن صدق عليه هذا الاسم بعمله للسنة  والمخالفون ملوك لا خلفاء وإنما تسموا بالخلفاء لخلفهم الماضي

Artinya : “Setelah berlalu masa khilafah kenabian yang berganti dengan sistem kerajaan. Ketentuan penyebutan khilafah itu hanyalah semata-mata sunnah dalam prakteknya, para raja (sejak mu’awiyah dst) yang mengaku khalifah, pada hakikatnya mereka itu bukanlah khalifah. Karena substansi penyebutan khalifah itu berhak disandang hanya pada para khalifah yang terdahulu (sebelum mua’wiyah).”

Penetapan khilafah tunggal sudah tidak ada lagi karena kondisi yang sangat sulit untuk mencari karakter yang mumpuni seperti yang disebutkan di atas kecuali khilafah akhir zaman sebagai tanda-tanda kiamat dan kita umat Islam memang saat ini menanti kedatangan Imam Mahdi sebagai khalifah Quraisy yang terakhir memimpin umat Islam. Syeikh Muhammad Syamsul Haqqil ‘Adzim Abadi Abu Thayyib dalam kitabnya ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud jilid 25, hal. 20 ketika ditanya ia menyatakan,

هل قوله صلى الله عليه وسلم في حديث خلافة النبوة الثانية المراد به المهدي ؟ الجواب: خلافة النبوة حددها بقوله: (خلافة النبوة بعدي ثلاثون سنة، ثم يؤتي الله ملكه من يشاء)، فالمقصود بذلك خلافة الخلفاء الراشدين و المهدي في آخر الزمان

Artinya : “Apakah khilafah kenabian (nubuwwah) kedua yang dimaksud adalah Imam Mahdi. Jawaban : “Khilafah kenabian itu dibatasi hanya sampai 30 tahun saja sesuai dengan hadits Nabi kemudian Allah Swt memberikan kekuasaan bagi orang yang dikehendakinya. Yang kami maksud Khilafah kenabian itu adalah hanyalah khilafah Khulafa’ur Rasyidin dan Imam Mahdi adalah Khalifah yang memimpin khilafah di akhir zaman.”

b. Al-Imamah (Al-Khalifaul Wushtha) : Pemimpin yang diwajibkan mengangkatnya dalam memimpin wilayah, atau negara. 
Di saat menunggu kedatangan Imam Mahdi, kekosongan pemimpin tunggal ini (Al-Khalifatul  Kubra) tidaklah membuat umat Islam jadi statis tidak mengangkat pemimpin sama sekali namun proses kepemimpinan dan pemerintahan diserahtugaskan kepada manusia untuk mengatur masyarakat perpolitikan menjadi bijak dan beretika. Aturan yang sangat dasar pada saat ini adalah pola-pola demokrasi yang selaras dengan Alquran dan nuansa kenabian. Syeikh Khatib Syeikh Khathib Asy-Syarbaini Asy-Syafi’i dalam kitabnya Mughni Al-Muhtaj ilaa Ma’rifat Ma’ani Al-Minhaj jilid 4, hal. 153 memberikan penjelasan yang sangat baik,

لَوْ شَغَرَ الزَّمَانُ عَنْ الْإِمَامِ انْتَقَلَتْ أَحْكَامُهُ إلَى أَعْلَمِ أَهْلِ ذَلِكَ الزَّمَانِ

Artinya : “Jika suatu masa kosong dari seorang pemimpin tunggal (khalifah) maka gugurlah kewajiban hukum tersebut sampai ada orang yang tepat atau cerdas (untuk diangkat) pada masa itu.”

Lebih lengkapanya sebagaimana yang diterangkan oleh Imam Al-Juwaini dalam kitabnya Ghiyatsul Umam wa Iltiyatsuzh Zhalam jilid 1, hal. 280,

قد قال العلماء لو خلى الزمان عن السلطان فحق على قطان كل بلده وسكان كل قرية أن يقدموا من ذوي الاحالم والنهى وذوي العقول والحجى من يلتزمون امتثال اشارته واوامره وينتهون عن مناهيه ومزاجره فإنهم لو لم يفعلوا ذلك ترددوا عند المام المهمات وتبلدوا عند اظلال الواقعات

Artinya : “Para ulama telah memberikan arahan bahwa jika suatu zaman terjadi kekosongan seorang pemimpin maka hendaklah setiap penduduk dari setiap negara atau daerah mengangkat seseorang yang visioner, cerdas secara intelektual dan mental yang mereka dapat mengerti isyarat-isyarat dan perintahnya dan menjauhi segala larangan-laranganya. Karena apabila mereka tidak melakukan ini maka akan timbullah kekisruhan dalam perkara-perkara yang urgensial atau kebodohan akan terjadi dalam merespon setiap kejadian.”

Proses pengangkatan pemimpin seperti yang disebutkan oleh Syeikh Khathib Asy-Syarbaini Asy-Syafi’i dalam kitabnya Mughni Al-Muhtaj ilaa Ma’rifat Ma’ani Al-Minhaj jilid 4, hal. 150 adalah
 
وَالْأَصَحُّ بَيْعَةُ أَهْلِ الْحَلِّ وَالْعَقْدِ مِنْ الْعُلَمَاءِ وَالرُّؤَسَاءِ وَوُجُوهِ النَّاسِ الَّذِينَ يَتَيَسَّرُ اجْتِمَاعُهُمْ

Artinya : Pengangkatan tersebut berdasarkan kriterianya bisa dilakukan tiga cara yakni :
1. Ba’iat : Mengangkat pemimpin secara langsung yang ditunjuk berdasarkan keputusan bersama,
2. Istikhlaf : Mengangkat pemimpin yang ditunjuk langsung oleh pemimpin yang sebelumnya,
3. Syura : Keputusan ahlul halli wal ‘aqdi (anggota parlemen) yang terdiri dari para tokoh agama, tokoh masyarakat dan masyarakat yang diturutsertakan yang memungkinkan untuk mengumpulkan mereka.” 

Kriteria seperti ini tidak ada bedanya dengan istilah demokrasi yang secara singkat diartikan sebagai suatu kekuasaan politik yang kedaulatan pemerintahnya berasal dari rakyat baik secara langsung maupun perwakilan seperti yang diungkapkan oleh Muhammad Syakir Asy-Syarif dalam kitabnya Aslimatud Dimuqrathiyah Haqiqah am Wahmun hal. 413. 

DR. Yudi Latif dalam bukunya Negara Paripurna; Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila hal. 391 meyatakan “Stimulus Islam atas Demokrasi Indonesia terinspirasi dari negara-kota Madinah yang dibangun Nabi adalah sebuah entitas politik berdasarkan konsepsi negara-bangsa (nation-state), yaitu negara untuk seluruh umat atau warga negara, demi maslahat bersama (common good). Sebagaimana termuat dalam piagam Madinah, “negara-bangsa” didirikan atas dasar penyatuan seluruh kekuatan masyarakat menjadi bangsa yang satu (ummatan wahidah) tanpa membeda-bedakan antara kelompok-kelompok keagamaan yang ada. Maka ditegaskan bahwa kaum Yahudi Bani Awf, misalnya, adalah satu ummah (bangsa) bersama kaum beriman, dalam hal ini ialah para pengikut Nabi, demikian pula kaum Yahudi dari kelompok-kelompok lain, yang satu persatu disebutkan dalam Piagam Madinah. Bahwa kaum Yahudi punya hak sepenuhnya atas agama mereka, dan kaum Muslim punya hak sepenuhnya atas agama mereka. Antarsesama warga, terjalin hubungan saling mengingatkan dan memberi nasihat dengan baik, bebas dari kecurangan, sebuah konsensus atas dasar kejujuran dan kebaikan. Semua warga Madinah mempunya hak dan kewajiban yang sama dalam hal biaya kemasyarakatan dan kenegaraan, terutama dalam bidang pertahanan.”

Kita dapat melihat prinsip syariat Islam yang dijalankan dalam berdemokrasi di Indonesia ini sudah cukup mapan, dari peradilan agama khususnya masalah perdata, seperti pernikahan, perceraian, zakat, waqaf dll menggunakan konsep hukum Islam. Pada hukum pidana memang belum bisa diterapkan secara keseluruhan mengingat masyarakat Indonesia multi etnis dan beragam pemeluk agama. Namun bukan berarti umat Islam tidak menjalankan syariat Islam, justru belum dilaksanakan penerapan ini merupakan contoh yang pernah diridhai oleh Rasulullah Saw tentang kepemimpinan Raja Najasyi. DR. Sulaiman Asyqar dalam kitabnya Hukmul Musyarakah fil Wazarah wal Majalisin Niyabiyah, hal. 40 menyatakan, “Raja Najasyi tidak memiliki kesanggupan berhukum dengan aturan Alquran (secara kaffah). Ia sudah beusaha untuk melakukannya akan tetapi kondisi tidak memungkinkan. Dia telah berbahagia di surga kendati mereka tidak menjalankan syariat Islam (dalam kekuasaannya) karena tidak memiliki kesanggupan menegakkannya. Namun, mereka tetap berhukum dengan hukum-hukum yang memungkinkan untuk mereka laksanakan.” Rasulullah Saw bersabda perihal kematian raja Najasyi :

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَاتَ الْيَوْمَ عَبْدٌ لِلَّهِ صَالِحٌ أَصْحَمَةُاسم النجاشي فَقَامَ فَأَمَّنَا وَصَلَّى عَلَيْه

Artinya : “Dari Jabir bin ‘Abdullah ia berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda : “Telah meninggal hamba Allah yang shalih raja Najasyi Ashhamah. Rasulullah Saw berdiri lalu menjadi imam bagi kami untuk menyolatkannya (solat ghaib).” (HR. Muslim No. 1583, Ahmad No. 13911).

Salah satu khalifah yang mengadopsi sistem dari luar Islam adalah kahlifah Umar bi Khaththab, Imam Ibnul Astir dalam kitabnya An-Nihayah Fi Gharibil Atsar jilid 2, hal. 371 menyebutkan,

وأوَّلُ من دوَّن الدَّوَاوين عُمَر . وهو فارسيٌّ مُعرَّب

Artinya : “Khalifah Umar bin Khaththab adalah kahlifah yang pertama mengadopsi dari persia terkait dasar-dasar aturan administrasi negara yang disebut Ad-Dawawin.”

Dari perbuatan Umar tersebut jelas bahwa Islam tidak memiliki aturan yang baku dalam mengatur kenegaraan selama sistem tersebut memang baik dan dapat menyejahterakan rakyat sesuai kesanggupan seorang pemimpin. Menerapkan demokrasi merupakan sinyalemen perintah dari Allah dan Rasul-Nya, hal itu lebih baik dilaksanakan daripada melakukan pemberontakan baik secara terang-terangan, halus ataupun sembunyi-sembunyi. Karena Rasulullah Saw bersabda :
 
مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ إِلَّا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

“Siapa yang tidak menyenangi sebuah kebijakan dari pemimpinnya maka hendaklah ia bersabar atas hal itu, karena sesungguhnya siapa saja yang keluar dari “kesatuan” (al-jama’ah) sejengkal saja kemudian ia mati maka tidak lain kematiannya adalah seperti mati dalam keadaan jahiliyah.” (HR. Bukhari No. 6531, Muslim No. 3438). 

Imam Al-Baghawi dalam kitabnya Syarhus Sunnah jilid 10, hal. 81 menyatakan, 

لو أن الإمام جعل الأمر شورى بين جماعة ، ثم هم اتفقوا علي تعيين واحد منهم ، كان والياً مطاع

law annal imam ju’ilal amru syuro baina jama’ah tsumma hum ittafaqu ‘alaa ta’yini ahidin minhum kaana waliyyan mutha’an. Artinya : “Jika seorang pemimpin diangkat atas dasar permusyawaratan dengan suara terbanyak. Kemudian mereka sepakat untuk menetapkan salah satu dari mereka untuk menjadi pemimpin maka pemimpin tersebut wajiblah untuk ditaati (selama dalam kebaikan).” 

Alangkah sangat lucunya dan rancu jika seseorang yang ingin mengakkan khilafah di bumi Indonesia ini, menyatakan bahwa Indonesia tidak sesuai dengan syariat, tidak mau ikut pemilu, tetapi secara adminstrasi seperti membuat KTP, Akta Kelahiran, Buku Nikah, SIM, STNK dll masih mengikuti sistem demokrasi yang kita anut saat ini.

Syeikh Yusuf Al-Qardhawi dalam kitabnya Min Fiqhid Daulah fil Islam hal. 132 menyatakan, Demokrasi itu tidaklah menyimpang dalam Islam, bahkan pada hakikatnya ia merupakan jauhar (inti) dari ajaran Islam. Islam telah mendahului istilah demokrasi menetapkan dasar-dasar yang merupakan inti dan pondasinya. Akan tetapi Islam menyerahkan penjabaran akan rincian-rinciannya pada ijtihad kaum muslimin, menurut ushul (dasar-dasar) agama, mashlahat dunia serta perkembangan kehidupan mereka sesuai zaman dan tempat.

Umat Islam wajib bersatu dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai harga mati untuk sebuah kebenaran ahlus sunnah wal jama’ah, kita berdemokrasi untuk mencari ridha Allah Swt dan menciptakan perdamaian. Mengenang ungkapan Soekarno dalam sebuah pidatonya : Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan walaupun golongan kaya. Tetapi, kita mendirikan negara “semua buat semua”, “satu buat semua”, semua buat satu. Saya yakin, bahwa syarat mutlak untuk kuatnya Negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan. Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup. (Soekarno, Presiden RI pertama, 1 Juni 1945).

Saya tutup uraian dakwah saya ini dengan mengambil cuplikan pernyataan Imam An-Nawawi Rahimahullah dalam kitabnya Shahih Muslim bi Syarh An-Nawawi jilid 12, hal 237,

وجوب ملازمة جماعة المسلمين عند ظهور الفتن  وفي كل حال وتحريم الخروج من الطاعة ومفارقة الجماعة

Artinya : “Wajib hukumnya selalu bersatu dalam barisan orang-orang Islam ketika merebaknya fitnah dalam setiap kondisi dan haram hukumnya memberontak dan berpecah belah.”

Ahsanakumullahul abadan,
Sang Pecinta Kedamaian : Al-Ustadz Miftahul Chair, SHi. MA.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hadits Palsu (2) Wanita Di Neraka Selama 70000 Tahun Gara-Gara 1 helai Rambutnya Terlihat Lelaki Yang Bukan Mahramnya

Nabi Adam Menggunakan Bahasa Suryani Tidak Bahasa Arab (Bahasa Pertama Di Dunia)

Sunnah Zikir Tahlil Sambil Menggeleng-Gelengkan Kepala