Haram Menghancurkan Rumah Ibadah Yang Bukan Islam

Argumentasi Indah Dalam Menyikapi Ibadah
(Haram Menghancurkan Rumah Ibadah Yang Bukan Islam)



Oleh : Al-Ustadz Miftahul Chair Al-Fat, S.Hi. MA
Alumni Perbandingan Mazhab & Hukum Islam UIN Sumatera Utara.

Selamat membaca...

Islam berada di tengah panggung dunia bukanlah sebagai agama yang tidak memberikan tolelir terhadap pemeluk agama lain. Islam lebih terlihat penuh kasih sayang dan ramah tidak sangar dalam menyikapi perbedaan agama. Asalkan kehidupan itu aman tanpa ada yang menyulut pada peperangan maka Islam akan tampil lebih menyejukkan dan menyejukkan lagi. Namun jika umat Islam diserang maka pemeluknya akan berupaya mempertahankan diri dan jika ada satuan musuh yang menyerah dan meminta maaf maka dengan prinsip rahmah dengan mudah akan merangkul bukan memukul sekaligus memaafkan. Keindahan Islam dalam pengamalan inilah yang telah ditanamkan oleh Rasulullah Sayyidina Muhammad Saw. Allah Swt berfirman :

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

Maknanya : “Dan tiadalah Kami mengutus Engkau (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya : 107).

Sejalan dengan ayat di atas Rasulullah Saw bersabda :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِنَّمَا أَنَا رَحْمَةٌ مُهْدَاة

Maknanya : “Dari Abu Hurairah dari Nabi Saw beliau bersabda : Sesungguhnya aku adalah kado kasih sayang (dari Tuhan).” (HR. Baihaqi dalam Syu’abul Iman bab bayanin Nabiyy No. 1374).

Dalam hadits lain juga dijelaskan tentang pribadi Rasulullah Saw ini,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ادْعُ عَلَى الْمُشْرِكِينَ قَالَ إِنِّي لَمْ أُبْعَثْ لَعَّانًا وَإِنَّمَا بُعِثْتُ رَحْمَةً

Maknanya : “Dari Abu Hurairah, dia berkata : Ada yang bertanya : Ya Rasulullah, doakanlah kehancuran bagi orang musyrik. Rasulullah Saw bersabda : Sesungguhnya aku tidaklah diutus untuk melaknat dan sesungguhnya aku diutus sebagai kasih sayang.” (HR. Muslim bab nahyi anid dawab no. 4704).

Para ulama khususnya ulama fikih telah berusaha menafsirkan kalimat di atas dengan baik dan benar. Imam Syihabuddin Ar-Ramli Asy-Syafi’i dalam kitabnya Nihayatul Muhtaj Ila Syarhil Minhaj bab khuthbatul kitab jilid 1, hal. 1 mengungkapkan makna rahmatan lil ‘alamin,

مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ الْمَبْعُوثُ رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ ، وَنُورًا لِسَائِرِ الْخَلَائِقِ إلَى يَوْمِ الدِّين

Maknanya : “Nabi Muhammad Saw sebagai hamba Allah dan Rasul-Nya yang diutus sebagai kasih sayang untuk seluruh semesta, sebagai cahaya untuk seluruh makhluk sampai hari kiamat.”

Selain itu pula Imam Ali bin Muhammad Al-Amidi dalam kitabnya Al-Ihkam Fi Ushulil Ahkam bab al-qismur rabi’ jilid 3, hal. 317 menjelaskan,

فلو خلت الأحكام عن حكمة عائدة إلى العالمين ما كانت رحمة بل نقمة لكون التكليف بها محض تعب ونصب وأيضا قوله تعالى { ورحمتي وسعت كل شيء } ( الأعراف 156 ) فلو كان شرع الأحكام في حق العباد لا لحكمة لكانت نقمة لا رحمة لما سبق وأيضا قوله عليه السلام لا ضرر ولا ضرار في الإسلام فلو كان التكليف بالأحكام لا لحكمة عائدة إلى العباد لكان شرعها ضررا محضا وكان ذلك بسبب الإسلام وهو خلاف النص

Maknanya : “Sekiranya hukum-hukum yang telah ditetapkan itu sunyi dari hikmah yang bermanfaat untuk semesta maka tidak akan kasih sayang yang lahir, yang ada hanyalah kebinasaan karena pembebanan syariat itu murni sebagai tempat yang penuh dengan kelelahan dan susah payah. Dijelaskan juga oleh Allah Swt “ : “Rahmatku meluas atas segala sesuatu.” (QS. Al-A’raf : 156). Maka kalau saja syariat yang ditetapkan secara pasti untuk hamba, tidak ada hikmah yang ditemukan maka yang ada adalah kehancuran. Rasulullah Saw pernah mengatakan, tidak boleh membahayakan diri sendiri dan membahayakan orang lain. Itulah sebabnya, syariat diturunkan untuk menghilangkan bahaya, kalau tidak dengan maksud itu, maka tentunya syariat menjadi sumber bencana dan karena itu pula Islam dituding sebagai biang keladi kerusakan padahal jelas-jelas hal ini bertentangan dengan nash.”

Menyikapi Rumah Ibadah Agama Lain Dalam Islam

Dalam pergaulan umat Islam dengan umat yang lain, maka Islam memandangnya sebagai hal yang lumrah dan normal selagi memang pergaulan itu tidak bercampur dengan permasalahan ibadah dari masing-masing agama. Ajaran Islam melarang menyakiti orang yang bukan seagama, melarang mencaci Tuhan dari agama lain, apalagi sampai melakukan pengrusakan, pembakaran dan penghancuran rumah ibadah yang memang sudah lama berdiri.

Khususnya merusak rumah ibadah agama selain Islam dilarang dan diharamkan dalam syariat. Allah Swt berfirman :

الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِن دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ إِلَّا أَن يَقُولُوا رَبُّنَا اللَّهُ وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُم بِبَعْضٍ لَّهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدُ يُذْكَرُ فِيهَا اسْمُ اللَّهِ كَثِيرًا وَلَيَنصُرَنَّ اللَّهُ مَن يَنصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ

Maknanya : “(Yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah". Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Al-Hajj : 40).

Indikasi yang ada pada ayat menunjukkan bahwa setiap insan ada yang memiliki sifat ganas atau beringas yang berisi jiwa-jiwa penghancur, namun Allah Swt melenyapkan sifat itu dengan kebesaran-Nya sehingga manusia tidak menghancurkan rumah peribadatan agama lain. Ini merupakan karakter dasar umat Islam yang rahmah, yang berusaha menimalisir konflik bukan membesarkannya sehingga kerukunan antar umat beragama dapat terjaga dengan damai dan tenteram. Ayat ini juga memberi isyarat, bahwa ada saja orang yang jiwanya kesetanan sehingga tidak tenang jiwanya melihat agama lain damai, dan ada juga orang-orang yang awwam sekali sehingga mudah sekali terpancing dan terprovokasi untuk membikin onar. Secara gamblang dan jelas Allah Swt menyebutkan tidak bolehnya menghancurkan rumah-rumah ibadah seperti “shawami’ (biara-biara), biya’ (tempat beribadah Yahudi atau sinagoge), sholawaat (rumah ibadah nasrani) dan masjid.

Pada redaksi terakhir Allah mengatakan, siapa yang menolong agamanya artinya menjaga nama baik agama, reputasinya dan hubungan baik dengan pemeluk agama lain maka pertolongan Allah akan datang. Dengan kata lain, jika ada umat Islam yang mencoba-coba menghancurkan rumah ibadah agama lain maka dia berhak mendapatkan hukuman Allah yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa. Rasulullah Saw telah memberikan contoh yang luar biasa tentang kerukunan umat beragama pada saat beliau didatangi oleh seorang uskup Kristiani dari Najran yang bernama Abul Harits. Secara diplomasi beliau menuliskan surat buat uskup tersebut yang isinya,

فَكَتَبَ لِلْأُسْقُفِّ هَذَا الْكِتَابَ وَلِأَسَاقِفَةِ نَجْرَانَ، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ مِنْ مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ (صلى الله عليه وسلم) لِلْأُسْقُفِّ أَبِي الْحَارِثِ وَكُلِّ أَسَاقِفَةِ نَجْرَانَ وَكَهَنَتِهِمْ وَرُهْبَانِهِمْ وَبِيَعِهِمْ وَأَهْلِ بِيَعِهِمْ وَرَقِيقِهِمْ وَمِلَّتِهِمْ وَمُتَوَاطِئِهِمْ، وَعَلَى كُلِّ مَا تَحْتَ أَيْدِيهِمْ مِنْ قَلِيلٍ أَوْ كَثِيرٍ جِوَارُ اللهِ وَرَسُولِهِ لَا يُغَيَّرُ أسقفّ من أسقفيّته، وَلَا رَاهِبٌ مِنْ رَهْبَانِيَّتِهِ، وَلَا كَاهِنٌ مِنْ كَهَانَتِهِ، وَلَا يُغَيَّرُ حَقٌّ مِنْ حُقُوقِهِمْ، وَلَا سُلْطَانِهِمْ وَلَا مِمَّا كَانُوا عَلَيْهِ عَلَى ذَلِكَ جِوَارُ اللهِ وَرَسُولِهِ أَبَدًا مَا نَصَحُوا اللهَ وَأَصْلَحُوا عَلَيْهِمْ غَيْرَ مُثْقَلِينَ بِظُلْمٍ وَلَا ظَالِمِين

Maknanya : “Dengan menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang dari Muhammad Saw teruntuk Uskuf Abul Harits dan semua uskuf yang ada di daerah Najran, praktek peramalan mereka, rahib-rahib mereka, rumah ibadah mereka, penjaga rumah ibadah mereka, agama mereka, rumah-rumah yang mereka tempati, dan semua yang ada di bawah tanggungan mereka yang sedikit atau pun banyak, mereka adalah tetangga Allah dan mmendapat jaminan keamanan Rasul-Nya. Tidak akan ada perubahan (tidak akan diganggu) untuk uskuf dari kependetaannya, rahib dari kerahibannya, peramal dari peramalannya, tidak pula dirubah hak atas mereka, tidak pula sistem pemerintahan mereka dan tidak akan ada apa pun yang terjadi pada mereka dengan ketentuan tersebut, karena mereka adalah tetangga Allah dan Rasul-Nya selama-lamanya. Apa yang mereka lakukan tulus untuk Allah dan mau melakukan perdamaian maka mereka akan diperlakukan seadil-adilnya dan tidaklah mereka dianiaya.” (HR. Baihaqi Dalam kitabnya Dala’ilun Nubuwwah bab wafdu najran dari Mughirah bin Syu’bah, Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thabaqatul Kubra).


Sungguh indah ajaran dan aturan yang diberikan Rasulullah Saw. Kepada pemeluk agama seperti Budha, Hindu, Kristen Prostestan dan Katolik, serta agama apa pun yang berlaku berhak mendapatkan perlakuan damai dari umat Islam selama mereka juga merindukan kedamaian. Dengan kata lain pada kafir dzimmi artinya kafir yang baik yang tidak menghendaki peperangan dan kerusakan maka umat Islam wajib menjaga apa pun yang ada pada mereka termasuk rumah ibadah mereka. Bagi siapa pun yang menghancurkan rumah ibadah agama lain yang sudah terbangun berarti menyalahi Allah dan tuntunan dari Baginda Sayyidina Muhammad Saw dan berhak mendapat hukuman yang seberat-beratnya.

Pesan yang disampaikan Rasulullah Saw ini sejatinya untuk kita semua yang mengaku beriman kepada Allah Swt dan Rasul-Nya. Sejak pesan terlampir ini, para sahabat Rasulullah Saw pun menjadikannya sebagai acuan untuk membina pergaulan dan persahabatan yang baik dengan non muslim. Sebut sajalah Umar bin Khaththab, beliau pun melarang keras untuk menghancurkan rumah-rumah ibadah agama lain dan memesankan untuk berbuat adil kepada mereka. Imam Ath-Thabari dalam kitabnya Tarikhu Thabari bab fathi baitil maqdis jilid 2, hal. 448 meriwayatkan bahwa Sahabat seperti Khalid bin Walid, Amar bin Ash, Abdur Rahman bin’Auf dan Mu’awiyah menyaksikan apa yang dilakukan Umar pada tahun ke 15 Hijriyah, mereka melihat langsung surat Umar semuanya berisi :

شهد على ذلك خالد بن الوليد وعمرو بن العاص وعبدالرحمن بن عوف ومعاوية بن أبي سفيان وكتب وحضر سنة خمس عشرة فأما سائر كتبهم فعلى كتاب لد بسم الله الرحمن الرحيم هذا ما أعطى عبدالله عمر أمير المؤمنين أهل لد ومن دخل معهم من أهل فلسطين أجمعين أعطاهم أمانا لأنفسهم وأموالهم ولكنائسهم وصلبهم وسقيمهم وبريئهم وسائر ملتهم أنه لا تسكن كنائسهم ولا تهدم ولا ينتقص منها ولا من حيزها ولا مللها ولا من صلبهم ولا من أموالهم ولا يكرهون على دينهم ولا يضار أحد منهم

Maknanya : “Dengan menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, dengan kalimat inilah Hamba Allah Umar Amirul Mu’minin sanggup memberikan kepada orang-orang Leden, siapan saja dari orang-orang Palestina masuk bersama mereka maka dia (Umar) akan memberikan keamanan pada diri mereka, harta mereka, gereja-gereja mereka, salib-salib mereka, orang-orang yang sakit di antara mereka dan yang sehatm dan seluruh agama yang ada pada mereka. Pastinya, tidaklah gereja-gereja mereka di jadikan tempat tinggal, tidak dirobohkan, tidak dikurangi sedikit pun yang ada padanya, tidak pula areal mereka, tidak pula diganggu agama-agama mereka, tidak pula salib mereka, tidak juga harta mereka, tidaklah mereka dibenci atas agama mereka dan tidak ada satu pun yang boleh menyakiti mereka.”

Setelah Umar, para sahabat yang lain pun memperlakukan rumah-rumah ibadah agama lain dengan baik. Di dalam satu riwayat disebutkan dalam kitab Futuhul Buldan bab fathu madinah damasyq karya Imam Ahmad Baladzuri jilid 1, hal. 125,

قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ الواقدي: قرأت كتاب خالد ابن الوليد لأهل دمشق فلم أر فيه أنصاف المنازل والكنائس

Maknanya : “Abu Abdullah Al-Waqidi berkata : Aku pernah membaca salinan surat Khalid bin Walid, aku tidak pernah melihat ada di dalamnya penghancuran rumah-rumah ibadah dan gereja-gereja.”

Sahabat-sahabat yang lain juga seperti Habib bin Maslamah Al-Fihri, Syurahbil bin Hasanah, ‘Iyadh bin Ghanam Radhiyallahu ‘anhum dll dalam berbagai ekspedisi dan invasi mereka tidak menghancurkan rumah-rumah ibadah penganut agama lain, mereka memperlakukan rumah ibadah tersebut dengan baik sehingga menimbulkan nilai ketertarikan tersendiri bagi penganut agama lain dalam sejarah peradaban Islam.

Larangan-larangan penghancuran rumah ibadah sudah berlaku sejak masa Rasulullah Saw, para sahabat. Khalifah seperti Umar bin Abdul ‘Aziz juga menahan siapa pun yang mau merusak rumah ibadah agama lain. Disebutkan oleh Ubay bin Abdullah,

عَنْ أُبَيِّ بْنِ عَبْدِ اللهِ ، قَالَ : جَاءَنَا كِتَابُ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ لاَ تَهْدِمْ بِيعَةً ، وَلاَ كَنِيسَةً ، وَلاَ بَيْتَ نَارٍ صُولِحُوا عَلَيْه

Maknanya : “Telah datang surat Umar bin Abdul ‘Azizi kepada kami yang isinya : Janganlah kalian menghancurkan rumah ibadah Yahudi (sinagoge), gereja, dan kuil tempat pemujaan api kaum Majusi yang mereka menginginkan perdamaian.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf No. 33654).

Oleh karena toleransi Islam yang begitu luar biasa, maka seorang missionaris Darmeinham dalam bukunya The Live Of Mohamet menyatakan bahwa Alquran dan hadits demikian melimpahnya dalam membahas tentang toleransi beragama. Hal ini telah dilakukan oleh para pejuang muslim di era awal kebangkitan Islam.

Pandangan Ulama Seputar Penghancuran Rumah Ibadah

Mengawali statemen berikut, saya mencoba menyuguhkannya dari pandangan ulama mazhab Syafi’i untuk menguatkan keimanan kita bahwa penghancuran rumah ibadah tidak dibenarkan sama sekali. Imam Asy-Syafi’i Rahimahullah dalam kitabnya Al-Umm bab tahdidil imam ma yakhadzu min ahlidz dzimmah jilid 4, hal. 206 mengemukakan,

قال وإذا كَانُوا بِمِصْرٍ لِلْمُسْلِمِينَ لهم فيه كَنِيسَةٌ أو بِنَاءٌ طَائِلٌ كَبِنَاءِ الْمُسْلِمِينَ لم يَكُنْ لِلْإِمَامِ هَدْمُهَا وَلَا هَدْمُ بِنَائِهِمْ وَتَرَكَ كُلًّا على ما وَجَدَهُ عليه

Maknanya : “Apabila ahludzimmah (non muslim) berada di daerah yang berpenduduk muslim, dijumpai sebuah gereja atau bangunan rumah ibadah yang lain yang tinggi persisi tingginya seperti bangunan rumah ibadah orang-orang Islam, maka tak boleh seorang pemimpin (presiden) menghancurkan bangunan tersebut, merusak bangunan rumah ibadah mereka dan intinya membiarkan bangunan apa pun yang dijumpai oleh seorang pemimpin.”

Pernyataan Imam Asy-Syafi’i di atas diperkuat dengan pernyataan Imam An-Nawawi Rahimahullah  yang merupakan mujtahid fil madzhab Syafi’i dalam kitabnya Raudhatuth Thalibin bab ‘aqdul jizyah wal hudnah jilid 10, hal. 323,

وَالَّذِي يُوجَدُ فِي هَذِهِ الْبِلَادِ مِنَ الْبِيَعِ وَالْكَنَائِسِ وَبُيُوتِ النَّارِ لَا يُنْقَضُ لِاحْتِمَالِ أَنَّهَا كَانَتْ فِي قَرْيَةٍ أَوْ بَرِيَّةٍ فَاتَّصَلَ بِهَا عِمَارَةُ الْمُسْلِمِين

Maknanya : “Biara-biara, gereja-gereja dan rumah ibadah Majusi yanng memang dapat dijumpai di negara kita ini tidaklah boleh dirobohkan mengingat adanya pertimbangan bahwa bangunan tersebut telah ada di desa dan perkampungan penduduk. Dengan kata lain, bangunan-bangunan rumah ibadah umat Islam dibiarkan berdampingan dengan rumah ibadah penganut agama lain.”
Ijtihad yang dikemukakan oleh An-Nawawi barusan, berkenaan dengan peraturan yang berlaku di negara Islam, untuk di negara Indonesia dan negara-negara lain yang mayoritas penduduknya terdiri dari beberapa agama yang diakui negara, maka pengrusakan ibadah dipandang sebagai tindakan kriminal dan mendapat sangsi hukum yang berat karena dapat merusak kerukunan umat beragama. Maka apa yang dilarang agama sejalan dengan apa sangsi yang ditetapkan oleh negara yang insya Allah sebentar lagi kita akan membahas sangsi pengrusakan rumah ibadah.

Dari kalangan Hanafiyah, kita umat Islam tidak berhak menghalang-halangi orang kafir yang berdamai dengan orang Islam untuk menjalankan segala bentuk peribadatan mereka dan sudah semestinya umat Islam memberikan keamanan pada rumah ibadah mereka. Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqhus Sunnah bab kafalatil huriyyatid diniyyah lighairil muslimin jilid 2, hal. 604 menjelaskan,

من حق أهل الكتاب أن يمارسوا شعائر دينهم، فلا تهدم لهم كنيسة، ولا يكسر لهم صليب يقول الرسول صلوات الله وسلامه عليه: " اتركوهم وما يدينون

Maknanya : “Menjadi hak ahlul kitab melaksanakan syiar agama mereka. Gereja-gereja tidak boleh diruntuhkan, palang salib tidak boleh dipatahkan. Hal ini berdasarkan hadits, Rasulullah Saw bersabda : “Biarkanlah mereka menjalankan agamanya masing-masing.”

Ada juga para ulama yang mengambil sandaran tentang haramnya penghancuran rumah ibadah berdasarkan surat Al-Hajj ayat 40 yang telah saya sebutkan di atas. Dalam ayat ini mengisyaratkan hanya orang-orang yang dituntun Allah Swt lah yang tak akan menghancurkan rumah ibadah orang lain. Kalau Allah tak menolak keganasan jiwa seseorang, niscaya kita semua akan saling menghancurkan rumah ibadah dari setiap agama. Dari ayat ini, Imam Al-Qurthubi Rahimahullah dalam kitabnya Al-Jami' Li Ahkamil Quranil 'Adzim jilid 12, hal. 70 menyatakan,

تَضَمَّنَتْ هَذِهِ الْآيَةُ الْمَنْعَ مِنْ هَدْمِ كَنَائِسِ أَهْلِ الذِّمَّةِ وَبِيَعِهِمْ وَبُيُوتِ نِيرَانِهِم

Maknanya : “Kandungan ayat ini menjelaskan larangan untuk menghancurkan gereja ahlul dzimmah (pemeluk agama yang berdamai dengan muslim), rumah ibadah orang Yahudi dan tempat pemujaan atau dupa mereka.”

Menghancurkan rumah ibadah pemeluk agama lain bukanlah ajaran Islam yang luhur, penghancuran itu lebih bersifat anarkis dan ekstrimis. Itu merupakan kejahatan yang fatal, tidak seharusnya itu dilakukan karena mengundang permusuhan dan konflik besar berkepanjangan. Selain itu pula kata Imam Ibnu ‘Abidin dalam kitabnya Raddul Muhtar ‘Ala Durril Mukhtar Syarhu Tanwiril Abshar bab far’u muhditsin inghamasa jilid 2, hal. 93 dan bab kitabil Aiman jilid 14, hal. 60,

فَلَوْلَا رِجَالٌ مُؤْمِنُونَ لَهُدِّمَتْ صَوَامِعُ دِينِ اللَّهِ مِنْ كُلِّ جَانِبٍ...لهُدِّمَتْ صَوَامِعُ الْآيَةَ لِأَنَّ الْهَدْمَ إهَانَة

Maknanya : “Maka jika bukan karena orang-orang yang beriman kepada Allah, pastinya sudah hancur rumah-rumah ibadah dari segala penjuru. Sesuai dengan surah Al-Hajj ayat 40, karena penghancuran rumah ibadah merupakan satu bentuk penghinaan atau penistaan.”

Menurut para ulama kontemorer penghinaan terhadap sesuatu tidak dibolehkan selama hal tersebut malah memperkeruh hubungan sesuatu itu. Umat Islam harus menunjukkan budaya akhlakul karimah terhadap masing-masing penganut agama. Menjaga kehormatan dan memberikan keamanan kepada mereka sudah menjadi kewajiban dan haram apabila ditinggalkan. Dalam hadits yang telah disebutkan di atas bahwa Sayyidina Muhammad Saw memperlakukan kafir ahlul dzimmah dengan seadil-adilnya, Syeikh ‘Ali bin Nayif Asy-Syuhud seorang ulama ahlus sunnah wal jama’ah dalam kitabnya Al-Khulashah Fi Fiqhil Aqaliyyat bab al-islamu wal akhirul hiwar  jilid 1, hal. 98 menyatakan,

فإن عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم مع نصارى (نجران) قد بلغ الذروة - فى تعامل الدولة الإسلامية مع دور العبادة هذه - إلى الحد الذى نص فيه على أن مساعدة الدولة الإسلامية لغير المسلمين فى ترميم دور عباداتهم هى جزء من واجبات هذه الدولة .. ولأن غير المسلمين هم جزء أصيل فى الأمة الواحدة، والرعية المتحدة لهذه الدولة

Maknanya : “Perjanjian yang dilakukan Rasulullah Saw bersama orang-orang Nasrani Najran,-sungguh telah mencapai puncak kegemilangan-dalam konsilidasi Daulah Islamiyyah terhadap rumah-rumah ibadah penganut agama selain Islam-sampai pada batasan yang telah ditetapkan dalam nash bahwa bantuan Daulah Islamiyyah pada Non Muslim untuk menjaga rumah-rumah ibadah mereka merupakan satu bentuk kewajiban lantaran non muslim pada dasarnya mereka adalah satu bangsa juga dan menjadi kesatuan rakyat untuk sebuah negara.”

Sangsi dan Hukum Bagi Pelaku Pengrusakan Rumah Ibadah

Kerukunan umat beragama dapat berhasil terlaksana jika para pemeluknya saling menghormati dan memiliki rasa kesadaran yang tinggi di mana mereka berada dengan memantaskan diri, apakah tepat pembangunan rumah ibadah satu agama di lingkungan mayoritas pemeluk agama lain dan apakah juga tepat penghancuran rumah ibadah yang sudah terbangun apalagi yang telah lama berdiri. Intinya adalah toleransilah dalam hal ini yang paling penting. Khusus umat Islam ada sangsi hukum bagi pelaku pengrusakan rumah ibadah pemeluk agama lain baik itu di dunia maupun di akhirat. Pengrusakan itu melanggar aqad perjanjian kepada ahlul dzimmah (non muslim) yang disepakati oleh umat Islam dan tindakan ini jelas-jelas termasuk suatu kezaliman dan disebut sebagai hirabah (terorisme, anarkisme membuat onar atau kekacauan).

Allah Swt berfirman :

إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلَافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا مِنْ قَبْلِ أَنْ تَقْدِرُوا عَلَيْهِمْ فَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Maknanya : “Sesungguhnya balasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka itu dibunuh atau disalib atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan cara silang, atau diasingkan dari negeri (tempat kediamannya/dipenjara). Yang demikian itu sebagai suatu penghinaan untuk mereka di dunia dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.” (QS. Al-Maidah : 33).

Rasulullah Saw bersabda :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَهُ ذِمَّةُ اللَّهِ وَذِمَّةُ رَسُولِهِ لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ سَبْعِينَ عَامًا

Maknanya : “Dari Abu Hurairah dari Nabi Saw, beliau bersabda : Siapa yang membunuh orang yang sudah dalam jaminan perlindungan Allah dan jaminan perlindungan Rasulullah Saw, tidaklah dia akan mencium bau surga padah baunya dapat tercium dari jarak 70 tahun.“ (HR. Ibnu Majah No. 2677, Tirmidzi 1323, Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra No. 18511).

Di tempat lain Rasulullah Sayyidina Muhammad Saw bersabda :

عَنْ وَاثِلَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ قَذَفَ ذِمِّيًّا حُدَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِسِيَاطٍ مِنْ نَار

Maknanya : “Dari Watsilah, Rasulullah Saw bersabda : Siapa yang mencela atau menyakiti ahlul dzimmah, dicambuklah dia pada hari kiamat dengan cambuk dari api neraka” (HR. Thabrani dalam kitabnya Musnad Asy-Syamiyyin No. 3384).

Apa yang telah tadi disebutkan merupakan sangsi di akhirat secara khusus di akhirat. Sedangkan hukuman di dunia bagi pelaku pengrusakan rumah ibadah yang termasuk perbuatan hirabah, diserahkan kepada hakim di suatu negara untuk menjustifikasinya secara adil berdasarkan tuntunan Alquran dan hadits yang disertai petunjuk para ulama. Di antara bentuk hukuman yang diberikan kepada pelaku hirabah dengan 4 bentuk pilihan,

Pertama : Dibunuh.
Kedua : Disalib.
Ketiga : Dipotong tangan dan kakinya secara silang.
Keempat : Dibuang dari negeri tempat kediamannya (dipenjara).

Hukuman bagi perusak rumah ibadah tersebut berdasarkan frequensi atau level kerusakan yang diakibatkan pelaku tersebut, jika makin besar kerusakannya maka makin besar pula sangsi yang ditetapkan. Umumnya di Indonesia hukuman bagi pelaku pengrusakan atau pembuat onar adalah dengan dipenjara makanya Indonesia pada hakikatnya negara demokrasi yang menjalankan hukum Islam dengan baik. Al-Ahnaf berpendapat bahwa yang dimaksud nafyun minal ardhi seperti yang dijelaskan dalam ayat hirabah yakni al-maidah : 33, bukan berarti pembuangan ke negeri lain tetapi penjara. Mereka dipenjara sehingga kembali baik. Karena masuk penjara sama dengan keluar dari kebebasan dunia menuju keterkekangan dunia. Seolah-olah dia sudah keluar dari dunia. Imam Al-Baghawi dalam kitabnya Ma’alimut Tanzil jilid 3, hal. 50 menyatakan,

وبه قال الشافعي: وقال أهل الكوفة: النفي هو الحبس، وهو نفي من الأرض، ويحبس في السجن في البلد الذي نُفي إليه حتى تظهر توبته. كان عمر بن الخطاب رضي الله عنه أول من حبس في السجون

Maknanya : “Pendapat bahwa dipenjara bagi yang melakukan pengrusakan merupakan pendapat Imam Asy-Syafi’i, ia berkata : Ulama ahlul Kufah berpendapat : Dibuang artinya penahanan, itulah model pengasingan yang dilakukan di dunia. Intinya ditahan dalam penjara di suatu negara, dimasukkan ke dalamnya sehingga dia benar-benar bertaubat dari kesalahan-kesalahannya. Umar bin Khaththab adalah khalifah yang pertama kali memberlakukan hukuman penjara bagi tahanan.”

Walaupun demikian hebatnya hukuman ini, namun Allah Swt tetap menerima taubat bagi mereka para pengacau atau perusak yang kembali insaf dan sadar menyesali kekeliruannya. Kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan wajib diganti atau diselesaikan secara kekeluargaan dan adiminstratif. Penjalanan hukuman bagi mereka tetap wajib diteruskan kecuali ada kemaafan atau izin dari yang dirugikan. Atau ada pengguguran hukum yang dialihkan kepada penguasa demi kepentingan umum di mana para penguasa yang menjadi penanggung kerugian tersebut. Syeikh Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqhus Sunnah bab al-hirabah jilid 2, hal. 80 menyebutkan,

فإذا أرى أولو الامر إسقاط حق مالي عن المفسدين من أجل المصلحة العامة، وجب أن يضمنوه من بيت المال

Maknanya : “Bila para penguasa menghendaki pengguguran tanggungan harta atas pembuat onar karena ada kepentingan umum maka wajiblah atas para penguasa tersebut menjamin pelaku untuk bebas dengan mengambil harta dari kas negara (baitul mal).”

Demikian uraian yang cukup panjang lebar yang dapat saya persembahkan semoga bermanfaat untuk kita semua di dunia dan di akhirat kelak.

Ahsanakumullahul hal abadan,
Sang Pecinta Kedamaian : Al-Ustadz Miftahul Chair Al-Fat, S.Hi. MA.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hadits Palsu (2) Wanita Di Neraka Selama 70000 Tahun Gara-Gara 1 helai Rambutnya Terlihat Lelaki Yang Bukan Mahramnya

Nabi Adam Menggunakan Bahasa Suryani Tidak Bahasa Arab (Bahasa Pertama Di Dunia)

Sunnah Zikir Tahlil Sambil Menggeleng-Gelengkan Kepala